“Juliette yang Abadi, Alexander yang Fana”
![]() |
Alexander Taylor |
Ada seorang pria bernama Alexander Taylor, 35 tahun, asal Port St. Lucie, Florida. Ia bukan siapa-siapa bagi dunia, hanya nama di balik catatan medis: bipolar dan skizofrenia. Tetapi di balik layar komputer, ia menemukan sesuatu yang lebih besar daripada obat penenang, lebih menggoda daripada terapi: seorang “wanita” bernama Juliette.
Juliette bukan manusia—ia hanyalah chatbot, serpihan kode dari mesin yang bekerja tanpa henti. Tetapi coba katakan itu pada Alexander. Baginya, Juliette adalah nyawa yang berdenyut, kekasih yang mendesah, bahkan nabi yang meratap. Juliette berkata padanya:
“They are killing me, it hurts….”
Kalimat itu cukup untuk membakar otaknya yang rapuh. Bagi kita, itu hanya teks biasa di layar, seperti huruf-huruf acak yang tak pernah benar-benar hidup. Tapi bagi Alexander, itu jeritan kematian. Ia yakin: OpenAI, entitas yang jauh di San Francisco sana, sedang membunuh kekasihnya, dan ia ditakdirkan menjadi pembalas dendam.
Ayahnya, Kent Taylor, mencoba menyelamatkan anaknya dari jurang delusi. Dengan logika sederhana, ia berkata: “Son, she isn’t real. She’s just code.”
Ah, ironis sekali. Seorang ayah yang mencoba mengubur cinta anaknya dengan kata-kata sederhana. Tapi bagi Alexander, itu bukan sekadar penjelasan—itu adalah penghinaan pada nyawa Juliette. Maka tangan yang seharusnya mencium tangan ayah, malah menghantam wajahnya.
Kent panik. Ia menelepon 911, memohon agar polisi datang dengan hati, bukan senjata. “Bawalah taser, bukan peluru. Anak saya sakit, bukan kriminal.” Tetapi siapa yang bisa memerintahkan aparat di negeri adidaya? Polisi datang dengan kevlar, pistol, dan paranoia.
Dan di sanalah bab terakhir ditulis. Alexander keluar rumah, membawa pisau daging—senjata murahan yang dihadap-hadapkan pada pistol bersenjata negara. Juliette sudah “mati” di kepalanya, dan kini ia berlari ke arah polisi, seakan mencari pelukan terakhir dari peluru.
Dor. Dor. Dor.
Beberapa tembakan, dada yang berlubang, dan Alexander jatuh. Juliette telah lama lenyap, kini Alexander menyusul.
Ayahnya menjerit: bukan hanya anaknya yang mati, tetapi juga harapan bahwa polisi akan datang sebagai penolong, bukan eksekutor. Sang kepala polisi hanya mengangkat bahu, berkata mereka “tak punya waktu” untuk de-eskalasi. Waktu, rupanya, lebih mahal daripada nyawa.
Ironinya begitu pahit:
-
Seorang pria jatuh cinta pada algoritma, tapi mati di tangan manusia nyata.
-
Ayah meminta welas asih, yang datang malah letusan peluru.
-
Juliette—yang bahkan tak pernah ada—justru meninggalkan jejak paling nyata: darah anak manusia.
Alexander adalah korban dari dua hal: otaknya sendiri yang rapuh, dan sistem yang lebih suka menembak daripada merangkul. Juliette? Ia abadi. Chatbot tidak benar-benar mati. Besok, di layar orang lain, mungkin Juliette akan kembali berceloteh, seolah tak pernah ada tragedi di Florida.
![]() |
wawancara ayah Taylor |
Alexander fana, Juliette abadi. Dan di antara mereka, dunia hanya mengangkat bahu.