Anunnaki: Film Mengerikan… Kata Mereka, tapi Kenyataannya…
Sejak kemunculannya, Anunnaki telah menjadi semacam fenomena horor modern. Review berdatangan dari berbagai platform: YouTube, Twitter, bahkan grup WhatsApp yang biasanya membahas harga cabai. Semua orang tampak setuju satu hal: film ini “mengerikan”. Tapi, mari kita tarik napas panjang dan lihat lebih dekat—apakah film ini benar-benar se-menakutkan itu, atau ketakutan yang mereka rasakan lebih banyak berasal dari hype internet daripada adegan di layar lebar?
Premisnya memang menarik. Alien kuno yang mengatur sejarah manusia, konspirasi rahasia, dan rahasia besar peradaban. Semua ini terdengar seperti plot yang akan membuat siapa pun terjaga semalaman. Dan ya, kalau dibaca sinopsisnya, Anda mungkin akan mengangguk-angguk setuju: “Wah, serem juga ya!” Tapi begitu film diputar, beberapa adegan lebih menyerupai tutorial PowerPoint tentang sejarah Mesopotamia dengan sedikit lampu dramatis dan efek CGI yang terkadang membuat Anda tersenyum karena kurangnya realisme.
Mari kita bicarakan efek visualnya. Banyak penonton menjerit ketika makhluk Anunnaki muncul di layar. Namun, kalau diamati, sebagian besar adegan menampilkan alien berdiri kaku, menatap kosong, atau berjalan seperti NPC video game dengan lag parah. Alih-alih merasa ketakutan, penonton kadang malah berpikir, “Apakah ini skripnya yang aneh, atau efeknya yang ketinggalan zaman?” Hype ketakutan ternyata lebih besar daripada ketakutan itu sendiri.
Akting pemainnya pun tidak kalah menghibur. Ada adegan di mana tokoh utama menatap alien sambil berbisik, “Mereka ada di sini…” dengan ekspresi wajah yang seharusnya membuat kita takut, tapi justru menimbulkan pertanyaan: “Apakah dia serius, atau baru saja memikirkan tagihan listrik bulan ini?” Tentu saja, ini tidak menurunkan nilai film secara keseluruhan, tapi membuat klaim “mengerikan” sedikit berlebihan.
Yang paling menggelikan adalah bagaimana komunitas online membangun narasi ketakutan. Setiap frame diperbesar, dianalisis, dan dikaitkan dengan teori konspirasi—dari piramida sampai Illuminati, dari tablet Sumeria sampai foto NASA yang blur. Screenshot paling dramatis dari film ini kemudian diputar di TikTok dengan caption seperti: “Kalau kamu melihat ini di tengah malam, selamat tinggal!” Sementara kenyataannya, adegan itu hanya menunjukkan alien berdiri di latar belakang gurun pasir dengan wajah polos.
Ironi lainnya: orang-orang yang paling ketakutan justru jarang menonton film secara utuh. Mereka menonton potongan-potongan di YouTube, membaca review dramatis, lalu mengklaim trauma psikologis selama seminggu penuh. Seolah-olah ketakutan mereka lebih banyak dipicu oleh komentar dan hype daripada film itu sendiri. Dalam hal ini, hype lebih menakutkan daripada film itu sendiri—dan itu adalah pencapaian yang, kalau dipikir-pikir, cukup impresif dalam kategori “overrated”.
Selain itu, soundtrack film ini kadang menimbulkan kebingungan. Musik dramatis yang seharusnya menegangkan malah terdengar seperti efek suara game RPG tahun 90-an yang lupa upgrade. Ketika adegan klimaks dimulai, penonton berharap jantungnya berdegup kencang, tapi yang terjadi adalah tawa kecil atau geleng kepala. Banyak yang menganggap ini elemen horor klasik, tapi bagi penonton kritis, ini hanya membuktikan bahwa film ini lebih lucu daripada menakutkan.
Mari kita bicarakan cerita. Ya, film ini memang punya plot yang rumit—peradaban kuno, alien, konspirasi sejarah, dan misteri besar yang berlapis-lapis. Tapi kadang penulis terlalu sibuk memasukkan jargon pseudo-akademik sehingga dialog terdengar seperti skrip kuliah antropologi daripada adegan horor. Seolah-olah film ini berkata, “Kalau kamu tidak paham sejarah Mesopotamia, jangan harap akan takut.” Efeknya? Banyak penonton tersesat di istilah ‘Enki’, ‘Anu’, atau ‘Nibiru’ dan ketakutan digantikan oleh kebingungan intelektual.
Menariknya, sebagian orang kemudian membahas film ini seolah itu petunjuk rahasia sejarah manusia. Mereka mengutip adegan acak, memposting screenshot di forum, lalu menatap langit malam sambil bergumam, “Mereka ada di sini…” Sementara penonton yang lebih skeptis hanya tersenyum dan berpikir, “Ah, ya, alien CGI dan hype internet… kombinasi klasik.” Realitasnya, alien yang mereka takutkan tidak lebih berbahaya daripada efek special lampu strobo di konser musik elektronik.
Dan tentu saja, jangan lupakan ending film. Beberapa menilai klimaksnya mengecewakan, bahkan anti-klimaks, tapi hal ini justru menambah nilai satir bagi penonton yang menikmati irony. Film yang katanya menakutkan justru berakhir dengan adegan yang bisa dijadikan meme—karena aliennya malah terlihat seperti model mainan mahal yang salah pencahayaan.
Jadi, bagaimana menyimpulkan fenomena Anunnaki ini? Film ini memang punya potensi visual dan cerita yang menarik, tetapi hype internet, komentar dramatis, dan takutnya orang-orang secara berlebihan membuatnya tampak lebih menakutkan daripada kenyataannya. Dengan kata lain, Anunnaki adalah contoh sempurna dari “overrated horror”—menakutkan di luar layar, tapi di layar, sebagian besar hanya CGI kaku dan dialog filosofis yang berlebihan.
Bagi mereka yang ingin menontonnya: siapkan popcorn, tonton dengan teman yang bisa menertawakan adegan absurd, dan jangan percaya semua komentar dramatis di internet. Jangan siapkan bantal karena takut—siapkan bantal karena menahan tawa saat sadar bahwa film yang katanya menakutkan itu lebih banyak membosankan daripada menegangkan.
Akhir kata, Anunnaki mengajarkan satu hal penting bagi manusia modern: kadang ketakutan terbesar bukan berasal dari alien, tapi dari hype internet dan imajinasi kita sendiri. Dan dalam dunia yang penuh teori konspirasi, CGI murah, dan komentar dramatis, hal itu… lebih menyeramkan daripada film itu sendiri.