Teguh di Piringan: Kisah Flat Earther di Era Mars dan AI

 Flat Earth di 2025: Keteguhan Hati atau Seni Menolak Logika? 


Tahun 2025. Dunia telah melangkah jauh—mobil listrik menguasai jalanan, kolonisasi Mars sedang dalam tahap perencanaan serius, dan AI mulai menulis novel yang lebih bagus dari manusia rata-rata. Namun, di sudut-sudut internet dan kadang di kafe-kafe hipster yang minim jangkauan sinyal, masih ada sekelompok manusia yang teguh meyakini satu hal: bumi itu datar. Ya, flat. Seperti peta dunia versi kartun, bukan bola biru yang berputar di luar angkasa.

Mereka adalah para pahlawan logika alternatif, pemberani menentang arus mainstream. Satelit? Itu semua CGI. Foto bumi dari luar angkasa? Itu cuma Photoshop. Gravitasi? Ah, itu cuma teori lama yang dibuat untuk menipu rakyat jelata. Yang paling heroik, mereka tetap tersenyum saat orang lain menatap mereka dengan tatapan “are you serious?”

Komunitas mereka berkembang pesat. Ada forum-forum online, grup Telegram rahasia, dan bahkan pertemuan tatap muka di ruang bawah tanah kota-kota besar. Bayangkan suasana: poster piramida dan peta dunia datar memenuhi dinding, teori konspirasi mengalir deras seperti kopi robusta. “NASA bohong!” teriak seorang pria berambut panjang dengan jaket denim penuh patch. “Foto bumi bulat itu cuma propaganda global elit!” Sementara seorang wanita muda mengangguk serius sambil menatap model bumi datar yang ia buat sendiri dari karton dan cat.

Menariknya, kepercayaan mereka bukan sekadar menolak bukti visual. Mereka punya filosofi sendiri. Misalnya, horizon selalu tampak datar—jadi logis, bumi pun datar. Kalau kalian pernah menonton video viral orang yang mencoba mengukur kelengkungan bumi dengan penggaris dan kolam renang, itulah seni logika mereka. Eksperimen sederhana itu dianggap sebagai bukti ilmiah paling sah. Tidak peduli bahwa satelit, penerbangan lintas benua, dan foto-foto luar angkasa menyanggahnya. Logika mereka sederhana, elegan, dan sedikit narsis: jika aku meragukan, berarti aku kritis.

MANA MUNGKIN BUMI BULAT!!!


Di era media sosial, flat earther punya panggung emas. Mereka membuat konten video berdurasi 10 menit yang penuh animasi dramatis, narasi penuh semangat, dan kadang musik ala film dokumenter investigatif. “Mereka tidak ingin Anda tahu kebenaran,” ujar suara dramatis narator. “Tetapi kami akan menunjukkan apa yang disembunyikan!” Lalu di layar muncul animasi bumi bulat yang tiba-tiba dipotong menjadi piringan. Dramatis, bukan?

Namun, elegan atau tidak, ada sisi komedi yang tak bisa dihindari. Saat dunia sibuk membicarakan penemuan air di Mars atau misi asteroid, para penganut flat earth sibuk meneliti bayangan tiang di gurun, horizon laut, atau video YouTube yang membahas “airplane window trick.” Mereka bisa menghabiskan berjam-jam berdiskusi tentang bagaimana pesawat seharusnya terbang jika bumi bulat—dan menemukan cara untuk menolak logika dengan kreativitas luar biasa. Bahkan, mereka punya istilah sendiri: globe brain, untuk orang yang percaya bumi bulat. Istilah ini terdengar seperti ejekan halus tapi juga kebanggaan terselubung: “Kami berbeda, dan kami bangga.”

Di sisi lain, dunia modern mulai menanggapi fenomena ini dengan campuran humor dan kekaguman. Ada artikel ilmiah yang membahas flat earth dari sudut antropologi sosial, menanyakan: apa yang mendorong orang tetap percaya pada sesuatu yang sudah jelas salah? Ada juga meme viral yang menampilkan astronot sedang menatap bumi bulat sambil berkata, “Ya ampun, mereka masih percaya bumi datar.” Respons masyarakat modern penuh ironi, tetapi juga refleksi: apakah ini sekadar penolakan fakta, atau seni mempertahankan identitas?

Pertemuan-pertemuan mereka pun kadang menjadi panggung teater sosial. Seorang pembicara akan naik ke podium dengan peta dunia datar, menuding globe brain sebagai korban propaganda global. Sementara di sudut lain, seorang anggota baru memegang teleskop mainan dan berseru, “Jika bumi bulat, kenapa aku tidak jatuh dari tepi?” Tawa pecah di ruangan. Tidak ada yang menertawakan dengan jahat; ini lebih seperti panggung sandiwara di mana logika diputarbalikkan menjadi hiburan tinggi.

Ironisnya, meski menolak ilmu modern, beberapa flat earther memiliki kecerdasan luar biasa dalam bidang lain. Banyak dari mereka insinyur, programmer, atau desainer grafis. Mereka dapat menghitung jalur penerbangan, membuat animasi 3D, dan bahkan menganalisis data astronomi—hanya saja, interpretasinya selalu berujung pada kesimpulan yang “benar menurut hati mereka”: bumi datar. Keterampilan tinggi ini membuat mereka tampak seperti ahli konspirasi berkelas, bukan sekadar orang yang bingung membaca atlas.

Di era 2025, flat earth menjadi lebih dari sekadar teori. Itu adalah identitas, komunitas, dan bentuk seni menolak norma. Mereka menggabungkan sains, seni, dan humor, meski secara logika kadang absurd. Dunia luar mungkin menertawakan, tapi di balik semua itu ada sesuatu yang menarik: keberanian menentang arus. Tidak banyak yang bisa mempertahankan keyakinan di tengah bukti bertumpuk—bahkan jika keyakinan itu salah.

Akhirnya, penganut flat earth mengajarkan kita pelajaran halus: kadang, percaya bukan soal kebenaran, tapi tentang konsistensi, komunitas, dan seni mempertahankan identitas. Mereka elegan dalam cara tersendiri, seperti penari balet yang menolak gravitasinya sendiri. Di tengah era AI, satelit, dan penjelajahan luar angkasa, mereka tetap berdiri tegak—di atas piringan datar dunia mereka.

Dan mungkin, di sinilah letak keindahan satirnya: di tahun 2025, kita semua hidup di dunia modern dengan penemuan luar biasa, tetapi masih ada orang-orang yang menatap horison datar, tersenyum, dan berkata, “Bola itu cuma ilusi.” Elegan. Teguh. Lucu. Manusiawi.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama