Widji Thukul: Penyair yang Dihilangkan Negara, Suara yang Tak Bisa Dibungkam

Widji Thukul: Penyair yang Dihilangkan, Negeri yang Kehilangan



Bab 1 – Lahirnya Penyair Jalanan

Solo, 26 Agustus 1963. Di sebuah gang kecil yang nyaris tak dikenal peta resmi, lahirlah seorang anak lelaki dari keluarga sederhana: Widji Thukul. Ayahnya tukang becak, ibunya penjual jajanan kecil. Sementara orang lain mungkin bercita-cita jadi pegawai negeri dengan seragam rapi, Thukul justru akrab dengan keringat, debu jalanan, dan kesunyian rakyat kecil yang kerap tak terdengar.

Kehidupan itu yang kelak menjadikannya berbeda. Dari kecil ia sudah akrab dengan kerja kasar, mengayuh sepeda, membantu orang tua, dan merasakan betapa hidup itu sering tidak adil. Namun alih-alih larut dalam nasib, Thukul belajar menyalin rasa sakit itu menjadi kata. Kata yang sederhana, kata yang telanjang, kata yang memukul.

Sekolahnya tidak tinggi—hanya sampai SMA, bahkan sempat terhenti. Tapi pendidikan yang sesungguhnya justru datang dari jalanan: dari obrolan warung kopi, teriakan buruh di pabrik, hingga keluh pedagang kaki lima yang digusur. Semua suara itu masuk ke puisinya. Ia tidak butuh kamus tebal untuk menulis; cukup mendengar jeritan rakyat.

Begitulah lahir penyair jalanan yang kelak membuat negara ketakutan. Ironis, bukan? Sebuah rezim yang punya ribuan tentara, panser baja, dan intel di mana-mana—ternyata bisa ketar-ketir hanya karena seorang anak tukang becak menulis puisi.


Bab 2 – Puisi Sebagai Senjata

Biasanya, puisi itu indah, romantis, dan manis. Tapi bagi Thukul, puisi adalah palu dan linggis. Kata-kata bukan untuk merayu, melainkan untuk menghantam.

Puisinya tidak berbelit-belit. Coba simak potongan ini:

Hanya ada satu kata: Lawan!

Pendek. Tegas. Seperti peluru.

Atau ini:

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: Lawan!

Siapa pun yang membaca, entah buruh, mahasiswa, atau ibu rumah tangga, bisa langsung mengerti maksudnya. Tidak perlu tafsir akademik. Dan justru karena itu, negara panik. Sebab puisi seperti ini tidak berhenti di buku sastra—ia hidup di pamflet, di spanduk, di tembok jalanan.

Widji Thukul sadar: senjata rakyat bukan senapan, tapi suara. Dan suara bisa lebih tajam daripada peluru, jika didengar massa.

Pemerintah Orde Baru, dengan segala kedigdayaan retorika pembangunan, tahu betul bahayanya. Sebab puisi Thukul membuat rakyat bertanya: “Mengapa kami miskin di negeri yang katanya kaya?” Itulah pertanyaan yang paling ditakuti oleh mereka yang berkuasa.


Bab 3 – Dari Jalanan ke PRD

Awal 1990-an, Indonesia mulai panas. Buruh mogok di pabrik, petani menggugat tanahnya, mahasiswa turun ke jalan. Di tengah riuh itu, Widji Thukul tidak lagi puas sekadar menulis. Ia mulai terjun ke gerakan rakyat, bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Bagi Orde Baru, PRD bukan partai biasa. Ia dituduh komunis gaya baru, dianggap hantu PKI yang bangkit dari kubur. Tuduhan itu, tentu saja, lebih politis daripada realistis. Tapi cukup efektif untuk memberi justifikasi represi.

Thukul ikut turun ke lapangan, membacakan puisi di tengah demonstrasi buruh. Suaranya serak, tapi kata-katanya tajam. Ia bukan pemimpin formal, tapi jadi simbol moral. Ia meyakinkan rakyat kecil bahwa melawan bukanlah dosa.

Di titik inilah aparat mulai mengawasinya. Intel membuntuti, rumahnya digerebek, keluarganya diteror. Namun Thukul tidak berhenti. Ia tahu konsekuensinya. Seorang kawan pernah bersaksi, Thukul pernah berujar:

“Kalau saya hilang, itu berarti benar kata-kata saya berbahaya.”

Dan benar saja, rezim Soeharto—yang anti kritik—sudah menandai namanya dalam daftar hitam.


Bab 4 – Mesin Negara Bergerak

1996, Jakarta bergolak. Kantor PDI yang dipimpin Megawati diserbu aparat, perlawanan rakyat merebak. PRD dituduh dalang kerusuhan. Sejak itu, mesin negara bergerak. Aktivis diburu, ditangkap, diadili dengan tuduhan subversif.

Widji Thukul pun jadi target. Ia hidup berpindah-pindah, sembunyi dari satu rumah aman ke rumah lain. Kadang di Yogyakarta, kadang di Jakarta, bahkan sampai ke Kalimantan. Hidupnya seperti hantu, selalu menghindari mata-mata.

Namun, seperti kata pepatah, “yang dikejar negara tak pernah bisa benar-benar lari.” Tahun 1997–1998, situasi makin genting. Ekonomi runtuh, krisis moneter mengguncang, rakyat makin marah. Aktivis makin vokal, rezim makin brutal.

Dalam suasana itu, operasi intelijen dijalankan sistematis: penculikan aktivis pro-demokrasi. Daftar korban panjang: Desmond J Mahesa (selamat), Pius Lustrilanang (selamat), Mugiyanto (selamat), Herman Hendrawan (hilang), dan—tentu saja—Widji Thukul.


Bab 5 – 1998: Tahun Hilang

Awal 1998, menjelang kejatuhan Soeharto, Widji Thukul lenyap. Tidak ada kabar pasti. Tidak ada catatan resmi. Hanya kesaksian samar: ia terakhir terlihat di Jakarta, lalu hilang begitu saja.

Keluarganya menunggu dengan cemas. Istrinya, Sipon, bertahan dengan keyakinan bahwa suaminya masih hidup. Anak-anaknya tumbuh tanpa kepastian. Setiap pintu diketuk, setiap kabar diintip, tapi Thukul tidak pernah pulang.

Dan negara? Ah, negara tiba-tiba menjadi pelupa ulung. Tidak ada keterangan resmi. Tidak ada investigasi serius. Semua berlindung di balik kalimat klise: “Kita sedang mencari tahu.” Dua puluh tahun lebih mencari, tapi tak pernah menemukan.

Seolah-olah seorang manusia bisa menguap begitu saja, hilang ditelan udara. Padahal semua orang tahu: hilang di zaman Orde Baru berarti diculik. Hilang berarti dibungkam. Hilang berarti dibunuh tanpa kubur.


Bab 6 – Bukti yang Tersisa

Tentu, pemerintah selalu pandai berkilah. Tapi bukti terlalu banyak untuk disangkal.

  • Komnas HAM: Menyatakan penculikan aktivis 1997–1998 sebagai pelanggaran HAM berat.

  • DPR RI (2009): Merekomendasikan Presiden membentuk pengadilan HAM ad hoc, mencari korban hilang, memberi kompensasi pada keluarga. Sampai hari ini, rekomendasi itu mandek.

  • KontraS: Mendokumentasikan kasus-kasus penculikan, termasuk Widji Thukul.

  • Kesaksian keluarga dan kawan: Menegaskan bahwa Thukul dikejar aparat sejak 1996.

  • Laporan PBB (UN Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances): Nama Widji Thukul tercatat sebagai korban penghilangan paksa.

Bukti ini seperti tumpukan berkas di meja birokrat: nyata, tapi diabaikan. Hukum kita, rupanya, lebih suka tidur siang ketimbang menegakkan keadilan.


Bab 7 – Negeri yang Pandai Lupa

Indonesia, negeri yang punya tradisi melupakan. Lupa tragedi 1965. Lupa Petrus. Lupa Tanjung Priok. Lupa Semanggi. Dan tentu saja: lupa Widji Thukul.

Tapi jangan salah. Lupa di negeri ini bukan karena pikun. Bukan karena memori pendek. Lupa di sini adalah kebijakan. Ia dipelihara dengan rapi: lewat buku pelajaran yang diam, lewat pejabat yang pura-pura sibuk, lewat pernyataan diplomatis yang dingin.

Negeri ini seperti orang yang menaruh mayat di bawah karpet, lalu mengundang tamu makan malam. Semua berpura-pura tidak mencium bau busuk. Dan ketika ada yang protes, jawabannya klise: “Kita harus move on.”

Move on? Bagaimana caranya move on kalau kubur pun tidak ada? Bagaimana caranya melupakan kalau luka tidak pernah diobati?

Satire terbesar dari republik ini adalah: seorang penyair miskin bisa hilang tanpa jejak, tapi sistem yang membuatnya hilang tetap berdiri, tetap berkuasa, bahkan tetap berpidato soal demokrasi.


Bab 8 – Warisan Thukul

Tapi Widji Thukul tidak pernah benar-benar hilang. Ia ada di setiap kata yang ia tulis. Puisinya hidup di spanduk demonstrasi, di mural jalanan, di film “Istirahatlah Kata-kata.”

Generasi baru mengenalnya, meski belum lahir ketika ia lenyap. Para mahasiswa mengutip puisinya di aksi-aksi. Anak muda menempel stiker wajahnya dengan tulisan: “Di mana Widji Thukul?”

Dan itulah yang membuat rezim gagal. Mereka bisa menghilangkan tubuh, tapi tidak bisa membunuh kata. Kata tidak bisa diculik, tidak bisa dikubur, tidak bisa hilang.

Widji Thukul telah berubah dari manusia menjadi simbol. Simbol bahwa perlawanan tidak pernah padam. Bahwa kata-kata lebih abadi daripada peluru.


Bab 9 – Ironi Abadi

Lebih dari dua dekade berlalu, pertanyaan itu masih sama: Di mana Widji Thukul?

Negara bungkam. Para pelaku mungkin masih hidup, entah dengan pensiun nyaman atau jabatan baru. Keluarga masih menunggu. Rakyat masih bertanya.

Ironi abadi: negeri ini berulang kali mengklaim demokrasi, tapi tidak pernah bisa memberi jawaban atas satu nama—seorang penyair, anak tukang becak, yang hanya punya kata-kata sebagai senjata.

Dan mungkin, itulah sebabnya negara takut. Sebab Widji Thukul membuktikan: keadilan bisa ditunda, tapi tidak bisa dimusnahkan. Kata-katanya tetap bergaung:

Apabila kita diam, maka kita akan lenyap. Apabila kita melawan, kita juga bisa lenyap. Tapi hanya dengan melawan, kita punya harapan.


Epilog

Widji Thukul memang hilang. Tapi kehilangan terbesar justru pada kita, bangsa yang memilih melupakan. Kita kehilangan keberanian, kehilangan kejujuran, kehilangan wajah di depan sejarah.

Dan sampai hari ini, setiap kali seseorang bertanya “Di mana Widji Thukul?”—jawaban itu bukan sekadar tentang lokasi jasad. Itu adalah pertanyaan tentang arah bangsa. Apakah kita bangsa yang berani mengingat, atau bangsa yang terus memilih lupa?

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama