The Subtle Art of Not Giving a F*ck: Fenomena Buku Overrated di Indonesia
Pendahuluan:
Ketika Kita Terlalu Banyak Memberi F*ck pada Sebuah Buku
Di Indonesia, ada hukum sosial tak tertulis: kalau sesuatu sudah ramai, otomatis dianggap hebat. Baik itu film, drama Korea, kopi literan, sampai… buku motivasi. Salah satu korban glorifikasi ini adalah The Subtle Art of Not Giving a Fck* karya Mark Manson. Buku dengan cover oranye terang ini tiba-tiba menjelma jadi semacam jimat generasi milenial dan Gen Z, seakan mampu menyembuhkan semua luka batin mulai dari patah hati, burnout kerja, sampai gagal jadi menantu idaman.
Fenomena ini sebenarnya lucu sekaligus ironis. Pesan inti buku ini sangat sederhana: jangan buang energi untuk hal-hal yang tidak penting. Namun di tangan pembaca Indonesia, ia berubah jadi status WhatsApp, kutipan Instagram, bahkan bahan konten YouTube dengan judul bombastis: “RAHASIA HIDUP SUKSES TANPA PEDULI OMONGAN ORANG!”
Apakah bukunya jelek? Tidak. Apakah bukunya terlalu diagung-agungkan? Ya. Dan di sinilah satire menemukan panggungnya. Mari kita bedah satu per satu, dengan elegan, sinis, tapi tetap berbasis logika dan fakta.
1. Filosofi Lama yang Dikemas Ulang
Mark Manson dipuja seakan menemukan teori baru tentang cara hidup: jangan peduli dengan hal sepele. Padahal, falsafah ini sudah lama eksis di Nusantara.
-
Jawa punya nrimo ing pandum — menerima jatah hidup dengan lapang dada.
-
Sunda punya cageur, bageur, bener, pinter — sehat, baik hati, benar, pintar; sebuah ajaran yang menekankan kesederhanaan dan fokus pada hal esensial.
-
Dalam Islam, kita mengenal konsep tawakal — pasrah setelah berusaha.
Semua itu sudah lebih dalam dan membumi daripada sekadar: “Stop giving a f*ck.”
Jadi apa keistimewaan Manson? Hanya branding. Ia membungkus kebijaksanaan universal dengan bumbu kata kasar, lalu menjualnya ke pasar yang haus konten instan.
Begini: ketika orang Indonesia mengutip nrimo ing pandum, dianggap kuno. Tapi kalau Mark Manson menulis hal serupa dengan tambahan kata fck*, langsung dianggap modern. Seakan kebijaksanaan hanya sah bila diucapkan dengan logat Amerika.
2. Bahasa Kasar = Kejujuran? Really?
Salah satu daya tarik buku ini adalah bahasanya yang blak-blakan. Kata fck* berserakan di hampir setiap bab, membuat pembaca merasa: “Wah, ini jujur banget, nggak munafik!”
Tapi mari kita lihat realita.
-
Apakah kata kasar otomatis jujur? Tidak. Banyak orang bisa berbohong dengan vulgar sekalipun.
-
Apakah tanpa makian, pesan jadi tidak kuat? Buya Hamka, Pramoedya Ananta Toer, hingga WS Rendra sudah membuktikan: ketajaman kata bisa menyentuh jiwa tanpa perlu sensor.
Di Indonesia, kita sudah cukup kenyang dengan kerasnya hidup. Harga cabai bisa naik 100% dalam semalam, listrik mati pas jam tahlilan, atau drama DPR yang lebih panjang daripada sinetron Indosiar. Apakah kita masih perlu dibentak dengan kata fck* supaya sadar hidup itu susah? Rasanya tidak.
Manson mungkin terdengar keren di New York. Tapi kalau ia pidato di alun-alun Yogyakarta dengan gaya yang sama, kemungkinan besar ia akan diingatkan satpam: “Mas, tolong bahasanya dijaga, ini banyak anak kecil.”
3. Janji Solusi Instan
Buku ini sering diperlakukan seperti obat mujarab: baca sekali, semua masalah selesai. Putus cinta? Baca Manson. Nggak naik gaji? Baca Manson. Gagal UTBK? Baca Manson.
Padahal, kesehatan mental bukan soal membaca satu buku motivasi. Itu butuh proses panjang: terapi, journaling, konsistensi, dan kadang — ya — biaya untuk konsultasi profesional. Mark Manson sendiri bukan psikolog klinis, bukan pakar neurosains, hanya seorang blogger yang jago menulis renyah.
Perbandingannya begini: membaca buku ini untuk menyelesaikan trauma adalah seperti minum jahe instan untuk menyembuhkan pneumonia. Hangat, enak, tapi jelas bukan solusi utama.
Indonesia ini negeri yang gemar solusi instan. Mau kurus cepat? Minum kopi detox. Mau kaya cepat? Ikut arisan bodong. Mau hidup tenang? Baca Mark Manson. Lalu kaget sendiri saat sadar, ternyata dunia nyata tidak bisa ditipu dengan trik tiga langkah.
4. Buku sebagai Aksesori Instagram
Fenomena paling ironis adalah bagaimana buku ini lebih sering difoto daripada dibaca. Feed Instagram penuh dengan pose estetik: secangkir kopi, kacamata bulat, dan The Subtle Art of Not Giving a Fck* di atas meja kayu. Caption? “Sometimes, not caring is the best care.”
Masalahnya, implementasi sering nol besar. Orang yang mengaku sudah not giving a fck* tetap panik kalau story-nya sepi viewers. Tetap kalut kalau gebetan lama terlihat online tapi tidak menyapa. Tetap sibuk menghitung likes.
Padahal inti buku ini adalah: berhenti menghabiskan energi pada hal tidak penting. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: buku ini dijadikan alat pencitraan, sebuah simbol status sosial bahwa pembacanya “deep” dan “beda dari yang lain”.
Kalau benar-benar sudah not giving a fck*, seharusnya mereka tidak peduli apakah orang lain tahu mereka membaca buku itu atau tidak. Tapi nyatanya, cover oranye menyala itu lebih sering jadi properti konten daripada bahan refleksi.
5. Konteks Amerika vs Indonesia
Perlu diingat, Mark Manson menulis dalam konteks budaya Barat: individualis, kompetitif, penuh tekanan untuk selalu jadi yang terbaik. Pesannya relevan di sana, karena orang mudah kelelahan mental akibat terlalu banyak target.
Namun di Indonesia, masalah kita sering berbeda. Banyak orang justru kurang peduli — bukan kebanyakan peduli. Coba lihat perilaku di jalan raya: main HP sambil nyetir, buang sampah sembarangan, atau parkir seenaknya. Ini jelas bukan tanda orang “terlalu giving a fck.” Justru sebaliknya, terlalu not giving a fck pada kepentingan publik.
Kalau Mark Manson datang ke Jakarta dan melihat pengendara motor melawan arus sambil senyum-senyum, mungkin ia akan merevisi bukunya jadi The Subtle Art of Actually Giving a Fck*.
6. Ketika Motivasi Menjadi Bisnis
Harus diakui, salah satu alasan buku ini meledak adalah timing. Generasi milenial sedang haus “pencerahan”, tapi enggan membaca buku filsafat tebal. Buku Manson hadir sebagai fast food: cepat, enak, mudah dipahami.
Tapi di sinilah jebakannya. Ketika motivasi berubah jadi industri, kebenaran sering dikemas sekadar agar laku, bukan agar mendalam. Sama seperti iklan skincare: klaimnya glowing dalam tujuh hari, padahal hasil sebenarnya butuh bertahun-tahun.
Bantahan validnya: motivasi memang penting, tapi tidak bisa jadi pondasi tunggal hidup. Ia hanya cemilan, bukan makanan pokok. Membaca Manson tanpa menambah wawasan lain ibarat hidup hanya dengan gorengan: nikmat, tapi kolesterol pasti menumpuk.
7. Satire Paling Besar: Indonesia Sebenarnya Butuh Kebalikan
Ironi terbesar: pesan Manson adalah jangan peduli hal sepele. Tapi di Indonesia, masalahnya sering justru orang kurang peduli.
-
Korupsi merajalela, tapi publik cepat lupa.
-
Lingkungan rusak, tapi dianggap bukan urusan sendiri.
-
Tetangga kelaparan, tapi cuek karena bukan keluarga.
Di sini, kita tidak butuh ajakan untuk berhenti peduli. Kita butuh ajakan untuk lebih peduli. Kalau semua orang Indonesia benar-benar mengikuti ajaran Manson mentah-mentah, bisa jadi kita akan hidup dalam negeri yang makin penuh ketidakacuhan.
Penutup: Elegansi Satir
Apakah The Subtle Art of Not Giving a Fck* buku jelek? Tidak. Ia enak dibaca, segar, cocok sebagai pintu masuk bagi generasi yang alergi bacaan berat. Tapi apakah ia pantas dipuja setinggi langit? Tentu tidak.
Buku ini hanyalah salah satu cara pandang, bukan kitab suci. Kalau terlalu diagungkan, ia malah menjadi simbol ironi: orang membeli buku tentang tidak peduli, tapi justru terlalu peduli agar terlihat sedang membacanya.
Dan kadang, kebijaksanaan paling sederhana sudah ada di sekitar kita, tanpa perlu label internasional. Seperti ucapan ibu di dapur:
“Udah, jangan kebanyakan mikir. Makan dulu.”
Kadang itu lebih menenangkan daripada seribu halaman kata fck*.