Affan dan Roda Besi yang Lupa Berhenti: Elegi Satir untuk Negeri yang Gemar Menabrak
Ada ironi pahit di jalanan Pejompongan malam itu: seorang anak muda berusia 21 tahun, Affan Kurniawan, mengenakan jaket hijau khas ojek online, justru menjadi korban dari roda besi yang seharusnya menjaga ketertiban. Rantis Brimob melintas bukan seperti kendaraan penegak hukum, melainkan seperti badut sirkus yang salah arena—menabrak, melindas, lalu melaju tanpa permisi.
Di negeri ini, terkadang kita sulit membedakan mana jalan raya dan mana gelanggang perang. Apalagi ketika kendaraan taktis lebih sibuk memamerkan tenaganya daripada mengingatkan dirinya sendiri bahwa rem itu ada. Rem, konon, bukan hanya teknologi mekanis, tapi juga metafora untuk menahan diri. Sayangnya, malam itu rem seolah hanya hiasan.
Mesin yang Menggilas Manusia
Affan bukan aktivis garis depan, bukan orator yang berteriak di mimbar, bukan pula provokator bayaran. Ia hanyalah seorang pekerja harian yang mungkin malam itu masih memikirkan orderan terakhir atau cicilan motor. Ironisnya, justru dialah yang jadi korban “ketertiban” berseragam.
Sebuah kendaraan dengan label “taktis” rupanya lebih taktis dalam melindas daripada dalam berpikir. Ia tak mengenal siapa lawan, siapa kawan. Tak mengenal bahwa nyawa seorang anak manusia seharusnya lebih berharga daripada kilatan adrenalin aparat yang panik.
Kalau aparat bisa seenaknya menginjak gas, apa bedanya dengan pengemudi mabuk yang kabur setelah tabrak lari? Oh, maaf, ada bedanya: pengemudi mabuk tidak akan ditempatkan di markas untuk “diperiksa secara internal” dengan kopi hangat dan AC sentral.
Permintaan Maaf dan Tradisi Basa-Basi
Kapolri pun tampil di layar kaca, menyampaikan permohonan maaf. Kata-katanya manis, penuh empati, dan tentu saja—terbata-bata oleh protokol. Namun, di negeri ini permintaan maaf aparat sudah seperti permen gratis di depan minimarket: manis sebentar, lalu hilang begitu saja.
Permintaan maaf tanpa akuntabilitas sejati hanyalah upacara formal. Kita sudah sering melihatnya: dari tragedi Kanjuruhan, tragedi penembakan, hingga tragedi yang kini menelan Affan. Bedanya hanya kostum: kadang seragam cokelat, kadang loreng, kali ini tameng dan rantis.
Satire yang paling getir adalah ketika institusi besar mengeklaim diri sebagai “pengayom masyarakat”, namun pada kenyataannya masyarakat lebih sering diayomi oleh doa ibu mereka sendiri.
Tujuh Seragam dan Satu Kematian
Ada tujuh anggota Brimob yang kini diamankan. Kata mereka, sedang diperiksa Propam. Propam? Ah, nama yang indah, seolah-olah malaikat pencatat dosa-dosa aparat. Namun publik sudah terlalu sering dikecewakan oleh “pemeriksaan internal” yang hasilnya lebih samar daripada kabut di Gunung Dieng.
Tujuh orang ditahan, satu orang meninggal. Statistik yang absurd. Andaikan keadilan bisa ditimbang di pasar, maka timbangannya pasti sudah rusak: satu nyawa rakyat biasa versus tujuh seragam negara, siapa yang lebih ringan?
Di negeri ini, seragam adalah jubah sakti. Ia bisa melindungi, bisa juga menutupi. Kadang lebih ampuh daripada jubah Harry Potter yang membuat penggunanya tak terlihat. Bedanya, jubah ini bukan membuat tak terlihat, melainkan membuat tak tersentuh.
Publik, Duka, dan Panggung Politik
Jenazah Affan dibawa ke TPU Karet Bivak. Air mata keluarga mengalir, doa dipanjatkan, dan publik terhenyak. Di sela duka itu, hadir pula wajah-wajah politikus yang pandai membaca kamera. Ada yang memeluk, ada yang menunduk, ada yang menitikkan air mata untuk bahan headline.
Duka rakyat kecil selalu menjadi panggung yang lezat bagi mereka yang pandai memoles citra. Ironinya, yang berteriak paling keras soal keadilan biasanya adalah mereka yang duduk nyaman di kursi empuk, jauh dari bau anyir darah di aspal.
Negara yang Tak Pernah Belajar
Seharusnya, tragedi ini menjadi alarm keras bahwa negara terlalu sering mengabaikan nyawa warganya. Tapi mari kita jujur: negeri ini punya tradisi panjang dalam melupakan. Dari tragedi 1965, reformasi 1998, kerusuhan Mei, hingga Kanjuruhan—setiap kali ada korban, negara menangis sebentar, lalu segera melanjutkan rutinitas.
Dan kini, Affan masuk daftar panjang itu. Ia bukan lagi manusia, tapi angka di laporan resmi, nama di koran, dan tagar di media sosial. Negara akan bilang, “Kami akan evaluasi,” lalu evaluasi itu menguap bersama janji-janji yang lebih cepat hilang daripada sinyal internet di desa terpencil.
Satire Penutup: Roda yang Terus Berputar
Affan mungkin sudah tiada, tapi roda besi itu masih ada, mengkilap di garasi markas, menunggu giliran untuk kembali ke jalanan. Pertanyaannya, apakah roda itu nanti akan berfungsi sebagai alat negara atau sekadar monster mekanis yang lapar korban baru?
Kematian Affan seharusnya jadi titik balik. Tapi bila sejarah berbicara, kita tahu: titik balik itu sering hanya titik koma. Dan roda negara akan terus berputar, menabrak lagi, meminta maaf lagi, dan kita—rakyat—akan terus menguburkan anak-anak muda yang tak pernah salah apa-apa.
Epilog
Satire ini bukan sekadar marah, melainkan elegi. Elegi untuk seorang anak manusia yang seharusnya masih bisa pulang membawa orderan terakhir, bukan pulang dalam keranda. Elegi untuk bangsa yang tampaknya lebih lihai merawat kendaraan taktis daripada merawat nurani.
Dan kepada mereka yang menabrak, izinkan kami menyampaikan dengan pedas namun sederhana: rem itu ada, otak juga ada, dan hati seharusnya tidak ditinggalkan di loker markas.