DPR: Komedi Serius yang Tak Pernah Kehabisan Episode
Indonesia boleh bangga sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Tapi demokrasi kita punya sesuatu yang tak dimiliki negara lain: parlemen yang lebih sering tampil sebagai panggung komedi ketimbang lembaga negara. Gedung DPR di Senayan seakan bukan sekadar kantor, melainkan teater besar dengan kursi empuk, mikrofon, dan penonton setia: rakyat yang membayar tiketnya lewat pajak.
Setiap periode, kita disuguhi tontonan baru. Namun, alur ceritanya selalu sama: janji manis di awal, perilaku absurd di tengah, dan ending pahit untuk rakyat. Mari kita simak beberapa “episode legendaris” yang membuat DPR layak disebut sebagai sitkom politik terpanjang di Indonesia.
Bab 1: Ruang Sidang, Ruang Tidur
Adegan klasik yang selalu viral adalah anggota DPR tertidur di sidang. Tahun 2018, Ketua DPR saat itu, Bambang Soesatyo, sampai menegur keras anggota yang ketahuan lelap di kursi. Jauh sebelumnya, foto Emir Moeis pulas di ruang sidang juga pernah beredar luas.
Rakyat mungkin marah, tapi ada humor pahit di situ. Kalau pegawai biasa tidur di kantor, langsung kena SP. Kalau anggota DPR tidur di sidang, hasilnya masuk berita utama dan jadi meme nasional. Bayangkan: membahas undang-undang, tapi tokohnya asyik bermimpi. Mungkin mereka sedang “berjuang lewat bawah sadar”—siapa tahu keputusan penting bangsa lahir dari mimpi siang hari.
Bab 2: Absen Kolektif, Kehadiran Selektif
Kursi kosong di sidang paripurna sudah jadi pemandangan rutin. Misalnya, saat pengesahan RUU KUHP pada Desember 2022, jumlah anggota yang hadir tak sampai penuh. Kamera menyorot kursi-kursi kosong seperti stadion usai pertandingan.
Namun, ironisnya, ketika pembahasan kenaikan gaji atau tunjangan, ruangan tiba-tiba penuh sesak. Rapat soal rakyat? Kursi kosong. Rapat soal kantong sendiri? Kursi rebutan. Bahkan pada 2010-an, saat DPR membahas kenaikan gaji, hampir semua anggota hadir—seperti konser Coldplay, tiket habis sebelum dibuka.
Satirenya jelas: ternyata magnet paling kuat di Senayan bukan ideologi atau visi bangsa, tapi slip gaji bulanan.
Bab 3: Undang-Undang Ekspres
Kalau rakyat mengurus KTP bisa berminggu-minggu, DPR membuktikan mereka bisa super kilat. Lihat saja kasus Omnibus Law Cipta Kerja 2020. Drafnya berubah-ubah bahkan setelah diketok palu. Publik bingung membaca pasal, tapi DPR sudah sibuk menepuk bahu sendiri: “Tugas selesai.”
Seolah DPR punya cheat code layaknya video game: tinggal ketik “/UUjadi” lalu pasal-pasal bermunculan. Rakyat menunggu peraturan yang benar-benar berpihak pada mereka, DPR justru menayangkan pertunjukan kecepatan. Kalau bikin SIM bisa lewat jalur DPR, mungkin selesai dalam hitungan jam.
Bab 4: Debat Ala Sinetron
Ruang sidang DPR sering berubah jadi panggung drama. Ingat debat panas antara Rieke Diah Pitaloka (PDIP) dan Sufmi Dasco Ahmad (Gerindra)? Suara meninggi, saling potong, penuh emosi. Penonton di rumah mungkin merasa sedang nonton FTV sore.
Bedanya, sinetron punya skenario, sementara DPR punya mikrofon dan kamera. Ending-nya pun klise: setelah drama berakhir, mereka berjabat tangan di belakang layar, lalu melanjutkan kerja sama politik. Yang tetap jadi figuran? Rakyat.
Bab 5: Perjalanan Dinas ala Tur Wisata
“Studi banding” selalu jadi bahan tawa rakyat. Pada 2014, rombongan DPRD DKI Jakarta melancong ke Eropa untuk “belajar tata kota.” Tapi yang viral justru foto-foto mereka di Menara Eiffel. Laporan hasil studi banding tipis, feed Instagram tebal.
Bagi rakyat, jalan-jalan ke luar negeri butuh tabungan bertahun-tahun. Bagi DPR, cukup ketok palu anggaran. Hasilnya? Lebih banyak oleh-oleh belanja ketimbang oleh-oleh kebijakan.
Bab 6: Skandal yang Selalu Laris
Drama tak lengkap tanpa skandal. Setya Novanto, mantan Ketua DPR, memberi kita tontonan lengkap: pura-pura sakit, kursi roda, hingga menabrak tiang listrik. Skandal e-KTP yang merugikan negara triliunan rupiah pun berubah jadi komedi tragis penuh plot twist.
Kalau Hollywood mencari aktor drama, DPR bisa jadi pemasok utama. Ada akting sakit, akting lupa, bahkan akting demi rakyat. Saking seringnya skandal, rakyat bingung: jangan-jangan justru yang jujur itulah “oknum”-nya.
Bab 7: Legislasi untuk Kepentingan Siapa?
Ketika UU Minerba 2020 disahkan, banyak yang menilai regulasi itu lebih berpihak pada perusahaan tambang besar ketimbang masyarakat sekitar. Polusi lingkungan, kerusakan alam, hingga konflik tanah seolah jadi catatan kaki yang bisa dilupakan.
DPR dengan gagah berkata, “Kami bekerja untuk rakyat.” Benar, hanya saja rakyat yang dimaksud bernama PT. Rakyat biasa hanya kebagian debu tambang, bukan hasilnya.
Bab 8: Janji Manis, Ingatan Pendek
Sebelum pemilu, janji manis DPR selalu sama: menurunkan harga, menyejahterakan rakyat, menciptakan lapangan kerja. Namun, begitu duduk di kursi empuk Senayan, yang pertama dibahas justru tunjangan.
Tahun 2016, misalnya, DPR menaikkan tunjangan perumahan hingga Rp40 juta per bulan. Rakyat masih berkutat dengan kontrakan sempit, sementara wakilnya sibuk menata rumah dinas. Janji kampanye hanya tahan sampai tinta di jari hilang. Setelah itu, yang diingat hanyalah slip tunjangan.
Bab 9: Panggung Meme Nasional
Kelucuan DPR kerap lahir dari kalimat ngawur. Misalnya, Ribka Tjiptaning dengan ucapan “aspal itu asli tapi palsu.” Atau politisi yang dengan enteng berkata “cari kerja gampang kok di Indonesia.”
Internet langsung merayakan: meme, parodi video, hingga thread Twitter. Setiap blunder DPR menjadi hiburan kolektif bangsa. Listrik bisa padam, kuota bisa habis, tapi bahan meme dari Senayan tak pernah surut.
Bab 10: Refleksi Pahit-Manis
Dengan semua adegan ini, DPR Indonesia layak disebut sebagai komedi serius yang tak pernah habis episode. Dari tidur siang, absen, studi banding, hingga skandal besar, semuanya jadi tontonan publik.
Bedanya dengan acara televisi, rakyat tidak bisa memilih saluran lain. Tiket sudah dibayar lewat pajak, dan kita wajib menonton lima tahun sekali saat babak baru dimulai.
Ironinya, meski kita sering menertawakan DPR, keputusan mereka nyata memengaruhi hidup kita. Undang-undang yang mereka sahkan bisa menentukan harga sembako, upah buruh, hingga masa depan lingkungan. Komedi ini memang menghibur, tapi juga berbahaya.
Maka tugas kita sebagai rakyat adalah dua: tetap tertawa, agar tidak gila menghadapi absurditas ini; dan tetap kritis, agar komedi ini tidak berubah jadi tragedi permanen.
Hormat w.n