Matinya Para Pakar: Ketika Mikrofon Lebih Tajam dari Gelar Doktor
Pendahuluan
Ada masa ketika pakar adalah mercusuar kebenaran. Ketika publik bingung, mereka mencari arah dari para profesor, peneliti, dan dokter. Namun kini, di era algoritma, para pakar seperti lilin kecil yang meredup di tengah kembang api influencer. Lilin memberi cahaya stabil, tapi kembang api lebih menarik perhatian—walau cepat padam dan meninggalkan asap.
Fenomena ini bukan sekadar tren, melainkan transformasi sosial. Pakar mati bukan karena ketidakmampuan, melainkan karena kalah bersaing dalam pasar atensi. Seorang influencer dengan ring light bisa menenggelamkan seorang doktor dengan riset bertahun-tahun. Ironis, tragis, sekaligus komedi yang layak kita soraki.
Bab 1: Dari Jurnal ke TikTok
Bayangkan profesor yang menulis jurnal sepanjang 40 halaman, penuh data, kutipan, metodologi. Setelah setahun menunggu, jurnal itu akhirnya terbit. Tapi sayang, jumlah pembaca hanya segelintir mahasiswa yang terpaksa mengutip demi skripsi.
Sementara itu, seorang seleb TikTok menari 15 detik sambil berkata: “Guys, tahu nggak? Air rebusan daun X bisa bikin imun kuat lawan semua virus!” Dalam sehari, videonya ditonton 2 juta kali, disebarkan ibu-ibu grup WhatsApp, bahkan masuk berita televisi.
Sungguh perbedaan yang kontras. Para pakar bicara dalam bahasa angka, sementara influencer bicara dalam bahasa algoritma. Dan di zaman ini, algoritma jauh lebih berkuasa daripada metodologi ilmiah.
Bab 2: Dokter vs Dukun Online
Di tengah pandemi, tragedi ini mencapai puncaknya. Dokter bicara soal protokol kesehatan, kurva epidemiologi, dan vaksin berbasis riset bertahun-tahun. Tapi seorang “ahli kesehatan alternatif” di YouTube berkata, “Cukup minum ramuan jahe dicampur minyak kayu putih, semua beres!”
Yang ironis, masyarakat lebih percaya pada yang terakhir. Kenapa? Karena pakar bicara dengan penuh keraguan (“masih butuh riset lebih lanjut”), sementara dukun online bicara dengan keyakinan penuh. Dalam dunia penuh kecemasan, kepastian lebih dicari daripada kebenaran.
Contoh paling nyata: seorang selebgram pernah menyarankan jemur diri jam 12 siang agar virus mati. Tiba-tiba, seluruh kompleks perumahan berubah jadi kebun satay raksasa—orang-orang berjemur bersama di halaman, menatap matahari dengan percaya diri. Para dokter? Hanya bisa geleng kepala.
Bab 3: Ekonom Kalah oleh Motivator
Ketika krisis ekonomi menghantam, ekonom menyodorkan analisis rumit: grafik inflasi, kebijakan moneter, pasar global. Sayangnya, rakyat malas mendengar rumus ekonomi yang terdengar seperti mantra alien.
Sebaliknya, motivator di YouTube berkata, “Jangan takut miskin, karena miskin hanyalah mindset!” Dan tiba-tiba semua orang bersorak, bertepuk tangan, bahkan membeli kursus daring seharga jutaan rupiah.
Para ekonom yang belajar bertahun-tahun tentang Keynes, Adam Smith, atau teori pasar hanya bisa duduk termenung. Rupanya, di era ini, satu kata ajaib lebih ampuh daripada seribu teori.
Bab 4: Politik dan Pakar yang Dibelokkan
Pakar politik pun tak luput dari nasib tragis ini. Dulu, analisis politik dari akademisi ternama dipublikasikan di media. Kini? Lebih banyak orang percaya pada buzzer anonim dengan avatar kartun.
Seorang profesor berkata, “Data menunjukkan tingkat kepuasan publik turun signifikan.” Namun buzzer langsung menimpali dengan meme: “Yang kritik cuma kaum rebahan gagal move on.” Tentu saja, meme itu lebih cepat viral dibanding grafik statistik.
Di titik ini, pakar tak hanya kalah, tapi juga dihina. Kredibilitas akademik bisa roboh hanya dengan satu tagar trending.
Bab 5: Ilmu Pengetahuan di Era Algoritma
Masalah utama bukanlah kebodohan masyarakat semata, melainkan mesin raksasa bernama algoritma. Algoritma tak peduli kebenaran, ia hanya peduli keterlibatan (engagement).
Video seorang pakar yang membosankan? Algoritma menyimpannya di sudut gelap. Video influencer yang penuh sensasi? Algoritma menampilkannya di beranda jutaan orang. Dalam dunia ini, kebenaran tidak lagi soal data, tapi soal siapa yang bisa menari lebih baik di hadapan kamera.
Tak heran, ilmuwan mulai mengeluh. Apa gunanya menulis jurnal kalau kalah dengan konten clickbait? Apa gunanya riset bertahun-tahun jika kalah dengan filter Instagram?
Bab 6: Ketika Pakar Menyerah
Sebagian pakar memilih beradaptasi. Ada dokter yang akhirnya buka akun TikTok, menjelaskan ilmu medis sambil berjoget. Ada ekonom yang bikin podcast ala-ala stand-up comedy. Ada ilmuwan yang bikin thread Twitter penuh meme agar orang mau membaca.
Tapi banyak juga yang memilih menyerah. Mereka kembali ke ruang riset, membiarkan publik hanyut dalam kebisingan influencer. Dan di situlah “kematian” pakar benar-benar terasa: bukan karena mereka tak ada, tapi karena mereka memilih diam.
Yang lebih tragis lagi, beberapa pakar akhirnya ikut terjerumus jadi influencer murahan—lebih sibuk mencari sponsor produk daripada menjaga kredibilitas ilmu. Pada titik itu, batas antara pakar dan selebgram lenyap sudah.
Penutup: Elegi Sang Pakar
Apakah para pakar benar-benar mati? Mungkin tidak. Mereka hanya kalah panggung. Suara mereka terlalu pelan di tengah konser influencer yang bising. Mereka seperti perpustakaan tua di zaman TikTok: berharga, tapi diabaikan.
Namun, ada satu hal yang tidak bisa dipalsukan oleh influencer: waktu. Kebenaran, seberapapun lama ia terkubur, pada akhirnya akan muncul kembali. Dan ketika ramuan ajaib, motivasi instan, serta teori konspirasi runtuh oleh realitas, orang akan kembali mencari para pakar.
Sayangnya, ketika saat itu tiba, mungkin para pakar sudah terlalu lelah untuk bicara.
Hormat w.n